Waktu memiliki gayanya sendiri. Ia bisa ditandai dengan kedisiplinan dan konsistensi.
Kalau kamu pernah memperhatikan sesuatu yang terjadi terus menerus
pada jam yang sama maka tak perlu melihat jarum jam untuk menandai
waktu. Seperti menandai waktu dengan bebunyian yang lewat di depan
rumah. Mereka yang selalu lewat pada jam yang sama tiap pagi.
Aku selalu menandainya dengan ini, tukang roti lewat dengan suara
yang keluar dari sound recorder-nya pada pukul 7. Tukang lontong yang
bekeliling dengan becak sambil memukul-mukulkan sendok ke piring selalu
datang pukul 8. Sebelumnya, tukang gas yang teriak-teriak, “gas!, gas!,
gas!,” lewat pukul 9, karena gas langka akhir-akhir ini dia tidak lewat
lagi. Mereka adalah jam hidup.
Lalu, apa menariknya menandai mereka yang memang sudah demikian kerjanya setiap hari itu?
Inilah yang hendak aku tuturkan kepadamu. Bahwa, tukang roti, tukang
lontong, tukang gas itu disiplin dan konsisten dengan waktu. Ia bisa
menjaga ritme kedatangannya pada satu tempat sesuai waktu yang telah
diperhitungkan sebelumnya. Sehingga ia bisa melewati sebuah komplek
perumahan atau jalanan tepat pada jam-nya. Dengan demikian, ia bisa
menjaga langganan. Orang-orang di komplek tempat tinggalku, umpamanya,
jika mereka ingin membeli roti untuk sarapan, akan menunggu di depan
rumah pukul 7, kalau ingin lontong tentu menunggu sejam kemudian.
Menariknya, mereka menunggu dengan kepastian pada jam-jam tersebut.
Tanpa wajah gelisah sembari melihat jam, atau menelepon sedang dimana,
masih jauh atau sudah dekat, dan sebagainya. Karena tukang roti dan
tukang lontong adalah orang setia pada pelanggannya. Kalau ia tidak
lewat sehari saja, serasa ada yang kurang.
Barangkali berbeda dengan kita, yang sering telat datang pada
waktunya atau ngaret. Kadang, sudahlah terlambat, banyak alasan pula.
Malah sering juga bohong, kalau misalnya belum datang, lalu ditelepon,
kebanyakan menjawab sedang di jalan, sudah dekat, hampir sampai, dan
beribu akal-akalan lainnya. Entah iya, entah tidak, berada dalam keadaan
seperti jawaban di telepon itu. Kadang masih di rumah, dibilangnya juga
masih di jalan, atau sudah hampir sampai. Bahkan, takut diomeli,
telepon tidak dijawab, SMS juga tidak dibalas.
Hal penting lainnya, dari tukang roti dan tukang lontong tersebut,
cara ia menghitung waktu. Sehingga tidak telat datang atau lewat di rute
jualannya. Bisa saja, ia tidak begitu hafal rumus fisika atau
matematika tentang kecepatan. Namun, secara tidak langsung ia terapkan
itu. Perhitungannya, jika ia berangkat dari rumah pukul 6, misalnya,
maka akan sampai di lokasi A pukul 6.30, lokasi B pukul 7, dan
seterusnya. Menghitung seperti ini, yang sering luput di kita. Makanya
sering telat. Kita hampir tidak pernah menghitung waktu tempuh ke suatu
tempat dengan segala kemungkinan hambatan di jalan. Padahal, bagi kita
yang bersekolah tinggi tentu paham benar rumus-rumus fisika atau
matematika untuk menghitungnya. Bahkan, kalau ada soal cerita tentang
ini dalam ujian, nilainya selalu bagus. Tidak ada salahnya juga rumus
itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan.
Tiba-tiba, aku ingat Bung Hatta. Tokoh besar yang selalu disiplin dan
tepat waktu. Saat itu beliau dibuang ke Banda Neira (Maluku). Para
pekerja perkebunan di sana sangat hafal, kalau Bung Hatta suka
jalan-jalan sore secara rutin pada jam yang sama. Setiap hari, dari
Senin hingga Sabtu sore, sekitar pukul 5, beliau akan mengelilingi pulau
Banda melewati kebun pala. Dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer
bolak-balik, Hatta menelusuri jalan setapak, rutenya sama. Dari rumah
menuju masjid, berbelok masuk hutan yang sunyi, melintasi kebun pala,
dan berhenti di dekat pantai ujung pulau. Dari situ berhenti sebentar,
lalu balik kearah semula.
Karena kebiasaan dan rutinitas yang tepat waktu tersebut, Bung Hatta
dijadikan jam. Setiap Bung Hatta muncul di perkebunan pala itu, para
pekerja akan berseru, “Sudah pukul 5.” Lalu, mereka berhenti bekerja dan
bersiap pulang. Kemunculan Bung Hatta ini penting, karena tidak ada jam
di kebun itu.
Tukang roti atau tukang lontong yang lewat di depan rumahku setiap
pagi itu, mungkin tidak mengenal Bung Hatta secara detail. Selain
sebagai pahlawan dan proklamator sebagaimana tertulis dalam buku sejarah
di sekolah. Namun, secara tidak sadar, ia meneladani dan mengamalkan
cara-cara Bung Hatta untuk disiplin terhadap waktu dalam menjalankan
rutinitas.
Lalu, bagaimana dengan kita, yang belajar di sekolah bertaraf internasional atau world class university.
Kita yang mengenali Bung Hatta dan tokoh-tokoh lainnya, yang selalu
disiplin soal waktu. Kita yang cukup tahu ada 1111 lebih ungkapan soal
waktu dari berbagai bangsa dan agama di dunia. Aku pikir, ada baiknya
belajar disiplin dan konsisten dengan angka-angka yang ditunjuk oleh
jarum pendek dan jarum panjang itu ke tukang roti atau tukang lontong
tadi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar