Senin, 25 Juni 2012

“Jam Hidup”

Ilustrasi jam kuno. (net)
Waktu memiliki gayanya sendiri. Ia bisa ditandai dengan kedisiplinan dan konsistensi.
Kalau kamu pernah memperhatikan sesuatu yang terjadi terus menerus pada jam yang sama maka tak perlu melihat jarum jam untuk menandai waktu. Seperti menandai waktu dengan bebunyian yang lewat di depan rumah. Mereka yang selalu lewat pada jam yang sama tiap pagi.
Aku selalu menandainya dengan ini, tukang roti lewat dengan suara yang keluar dari sound recorder-nya pada pukul 7. Tukang lontong yang bekeliling dengan becak sambil memukul-mukulkan sendok ke piring selalu datang pukul 8. Sebelumnya, tukang gas yang teriak-teriak, “gas!, gas!, gas!,” lewat pukul 9, karena gas langka akhir-akhir ini dia tidak lewat lagi. Mereka adalah jam hidup.
Lalu, apa menariknya menandai mereka yang memang sudah demikian kerjanya setiap hari itu?
Inilah yang hendak aku tuturkan kepadamu. Bahwa, tukang roti, tukang lontong, tukang gas itu disiplin dan konsisten dengan waktu. Ia bisa menjaga ritme kedatangannya pada satu tempat sesuai waktu yang telah diperhitungkan sebelumnya. Sehingga ia bisa melewati sebuah komplek perumahan atau jalanan tepat pada jam-nya. Dengan demikian, ia bisa menjaga langganan. Orang-orang di komplek tempat tinggalku, umpamanya, jika mereka ingin membeli roti untuk sarapan, akan menunggu di depan rumah pukul 7, kalau ingin lontong tentu menunggu sejam kemudian.
Menariknya, mereka menunggu dengan kepastian pada jam-jam tersebut. Tanpa wajah gelisah sembari melihat jam, atau menelepon sedang dimana, masih jauh atau sudah dekat, dan sebagainya. Karena tukang roti dan tukang lontong adalah orang setia pada pelanggannya. Kalau ia tidak lewat sehari saja, serasa ada yang kurang.
Barangkali berbeda dengan kita, yang sering telat datang pada waktunya atau ngaret. Kadang, sudahlah terlambat, banyak alasan pula. Malah sering juga bohong, kalau misalnya belum datang, lalu ditelepon, kebanyakan menjawab sedang di jalan, sudah dekat, hampir sampai, dan beribu akal-akalan lainnya. Entah iya, entah tidak, berada dalam keadaan seperti jawaban di telepon itu. Kadang masih di rumah, dibilangnya juga masih di jalan, atau sudah hampir sampai. Bahkan, takut diomeli, telepon tidak dijawab, SMS juga tidak dibalas.
Hal penting lainnya, dari tukang roti dan tukang lontong tersebut, cara ia menghitung waktu. Sehingga tidak telat datang atau lewat di rute jualannya. Bisa saja, ia tidak begitu hafal rumus fisika atau matematika tentang kecepatan. Namun, secara tidak langsung ia terapkan itu. Perhitungannya, jika ia berangkat dari rumah pukul 6, misalnya, maka akan sampai di lokasi A pukul 6.30, lokasi B pukul 7, dan seterusnya. Menghitung seperti ini, yang sering luput di kita. Makanya sering telat. Kita hampir tidak pernah menghitung waktu tempuh ke suatu tempat dengan segala kemungkinan hambatan di jalan. Padahal, bagi kita yang bersekolah tinggi tentu paham benar rumus-rumus fisika atau matematika untuk menghitungnya. Bahkan, kalau ada soal cerita tentang ini dalam ujian, nilainya selalu bagus. Tidak ada salahnya juga rumus itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan.
Tiba-tiba, aku ingat Bung Hatta. Tokoh besar yang selalu disiplin dan tepat waktu. Saat itu beliau dibuang ke Banda Neira (Maluku). Para pekerja perkebunan di sana sangat hafal, kalau Bung Hatta suka jalan-jalan sore secara rutin pada jam yang sama. Setiap hari, dari Senin hingga Sabtu sore, sekitar pukul 5, beliau akan mengelilingi pulau Banda melewati kebun pala. Dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer bolak-balik, Hatta menelusuri jalan setapak, rutenya sama. Dari rumah menuju masjid, berbelok masuk hutan yang sunyi, melintasi kebun pala, dan berhenti di dekat pantai ujung pulau. Dari situ berhenti sebentar, lalu balik kearah semula.
Karena kebiasaan dan rutinitas yang tepat waktu tersebut, Bung Hatta dijadikan jam. Setiap Bung Hatta muncul di perkebunan pala itu, para pekerja akan berseru, “Sudah pukul 5.” Lalu, mereka berhenti bekerja dan bersiap pulang. Kemunculan Bung Hatta ini penting, karena tidak ada jam di kebun itu.
Tukang roti atau tukang lontong yang lewat di depan rumahku setiap pagi itu, mungkin tidak mengenal Bung Hatta secara detail. Selain sebagai pahlawan dan proklamator sebagaimana tertulis dalam buku sejarah di sekolah. Namun, secara tidak sadar, ia meneladani dan mengamalkan cara-cara Bung Hatta untuk disiplin terhadap waktu dalam menjalankan rutinitas.
Lalu, bagaimana dengan kita, yang belajar di sekolah bertaraf internasional atau world class university. Kita yang mengenali Bung Hatta dan tokoh-tokoh lainnya, yang selalu disiplin soal waktu. Kita yang cukup tahu ada 1111 lebih ungkapan soal waktu dari berbagai bangsa dan agama di dunia. Aku pikir, ada baiknya belajar disiplin dan konsisten dengan angka-angka yang ditunjuk oleh jarum pendek dan jarum panjang itu ke tukang roti atau tukang lontong tadi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar